Sungguh malang nasib bocah sepuluh tahun itu, Anggi
namanya. Di usianya yang belia, dia harus hidup sendirian, serba kekurangan dan
hanya sendirian. Orang tuanya telah tiada semenjak ia berusia lima tahun,
saudara-saudaranya di kampung tak ada yang mau bersimpatik padanya. Kakek dan
neneknya sudah tiada pula. Di kota yang besar dan kejam ini, Anggi harus mampu
bertahan hidup, harus mampu meningkatkan daya hidupnya, walau hanya sebagai
seorangg pengamen cilik.
Sekolah. Itulah angan-angan bocah berambut panjang
ini. Namun sayang, kejamnya dunia saat ini membuatnya menitipkan angannya
tersebut kepada angin. Biar uangnya dipake buat makan aja, nggak perlu sekolah,
begitu penuturan Anggi saat ditanyai orang-orang yang melihatnya. Sungguh miris
memang.
“Syukuri apa yang ada… Hidup adalah anugerah… Tetap
jalani hidup ini… Melakukan yang terbaik… Tuhan pasti kan menunjukkan…
Kebesaran dan kuasa-Nya… Bagi hamba-Nya yang sabar… Dan tak kenal putus asa…”
Hanya lagu itulah yang menjadi andalan Anggi di
setiap ngamennya. Jangan menyerah milik D’Masiv. Lagu itu seperti memotivasi
bocah ini untuk terus bersyukur dan melakukan segala yang terbaik, serta
menghindari dosa. Yah, walaupun susah, Anggi selalu berusaha untuk bersyukur
dan tidak melakukan pekerjaan yang dosa.
Hari inipun, walau di tengah terik matahari yang
cukup menyengat kulit, Anggi tetap mengamen. Dengan modal gitar mungil dan juga
lagu ‘Jangan Menyerah’, Anggi mendekati mobil-mobil yang berhenti karena lampu
lalu lintas sedang merah. Samar-samar terdengar ia mengucapkan ‘terima kasih’
pada setiap mobil yang ia hampiri, walau tidak semuanya yang memberinya uang,
barang seratus perak sekalipun.
“Anggi… Anggi… Elo dicariin
Bang Raul tuh!”ucap seorang bocah lelaki yang bernama Andra, teman seperjuangan
Anggi.
“Ada apaan?”balas Anggi
dengan sekenanya.
“Tau tuh, sana gih, sebelum
Bang Raul marahin elo. Udah, gue lanjut ngamen dulu.”jawab Andra sambil berlari
kecil menuju mobil-mobil yang mulai berhenti kembali.
“Oke.”Anggi mengacungkan
jempolnya lalu berlari kecil pula menuju Bang Raul, orang yang selama ini
memberinya tempat tinggal.
Tak butuh waktu lama, Anggi
pun tiba di sebuah gudang bekas milik perusahaan yang kini telah bangkrut,
tempat tinggalnya selama ini. Dengan santai, Anggi mendorong pintu gudang yang
cukup berat. Begitu masuk ke dalam, Anggi dapat melihat Bang Raul yang tengah
berbicara dengan seorang bapak paruh baya yang masih cukup tampan, di salah
satu kursi bekas.
“Anggi, sini lu. Gua mau
ngenalin lu nih sama seseorang.”suruh Bang Raul sedikit berteriak, kebiasaanya.
“Iya, bang.” “Nah, ini Pak,
yang namanya Anggi. Anggi, bapak ini orang yang sering ngeliat lu di lampu
merah tempat biasa lu ngamen. Dia ke sini mau ngomong sesuatu ama elu. Udah ye,
gua tinggal dulu, entar kalo lu udah selesai, lu cari gua aja di belakang, gua
mau nyuciin baju elu ma temen-temen elu.”ucap Bang Raul.
Bang Raul memang baik.
Sebenarnya, dia itu orang yang cukup berada, dia punya rumah yang cukup mewah,
dan mobil bagus. Tapi, dengan senang hati, Bang Raul meninggalkan semua fasilitas
itu buat membantu anak-anak pengamen di daerah itu, seperit Anggi. Bang Raul
juga nggak pernah ngambil uang hasil kerja anak-anak itu, dia malah nyuruh
anak-anak buat nabung hasil-hasil mereka, buat masa depan mereka. Itu makanya,
anak-anak pengamen sayang banget sama Bang Raul.
“Kamu Nak Anggi ya?” “Iya,
Pak, saya Anggi. Ada apa ya, Pak?”ucap Anggi dengan sopan.
“Sebelumnya, perkenalkan
nama saya Pak Willyam, kamu bisa panggil saya Om Iam. Begini, saya dan istri
saya baru kehilangan putrid kami. Dia seumuran dengan kamu. Saat saya melihat
kamu di lampu merah tempo hari, saya berinisiatif untuk mengangkat kamu menjadi
anak saya. Kamu mau?”terang Om Iam.
“Me…ngangkat anak?”Anggi
dibuat kaget dengan penuturan Om Iam barusan.
“Iya, Anggi mau kan? Kalo Anggi
mau, Om akan memberikan apapun yang Anggi mau. Anggi mau apa? Sekolah? Anggi
mau sekolah kan? Om bisa menyekolahkan Anggi… Gimana, Anggi mau kan?”ujar Om
iam semangat, dia melihat sedikit harapan untuk dapat mengangkat Anggi menjadi
anaknya.
“Sekolah…”gumam Anggi pelan,
namun masih mampu didengar Om Iam.
“Iya, Anggi bisa sekolah. Anggi bisa makan enak,
Anggi bisa tidur di ranjang empuk, dan bisa punya segalanya yang Anggi mau.”
“Semuanya Om?”tanya Anggi lagi.
“iya, kamu mau kan?”balas Om
Iam.
“Anggi mau sekolah... Kalo
ikut Om bisa sekolah kan?” “Pasti, Om janji sama Anggi.”kata Om Iam yakin.
“Anggi mau ikut Om.”ucapan
Anggi itu membuat Om Iam tersenyum puas, akhirnya berhasil.
Dan hari itu juga, Anggi di
bawa pulang Om Iam ke rumahnya. Anggi sempat terpana melihat rumah Om Iam yang
besar sekali, setara dengan rumah Bang Raul. Anggi lebih terpana lagi, saat
memasuki halaman rumah Om Iam, yang lebarnya separuh dari halaman Monas. Om Iam
mengenalkan Anggi pada istrinya, Tante Mawar. Tante Mawar sangat baik pada
Anggi, dia malah mengantarkan Anggi ke kamar.
“Anggi, ini kamar Anggi.
Gimana, Anggi suka kan?”tanya Tante Mawar.
“Iya, Anggi suka. Makasih ya
Tante…” “Lho, kok masih manggil ‘tante’? Panggil ‘Mama’ dong. Sama Om Iam juga,
panggil ‘Papa’ ya?”potong Tante Mawar.
“Eh, iya, Tan…Eh,
Mama…”jawab Anggi agak kikuk.
“Ya udah, Anggi mandi dulu
ya, di situ kamar mandinya. Setelah mandi, Anggi turun ke bawah ya, makan malam
sama Mama dan Papa.”suruh Tante Mawar.
“Iya, Ma…” “Mama tinggal dulu ya, Sayang…”Tante
Mawar mengecup lembut kening Anggi yang membuat bocah itu sedikit kaget, ia tak
pernah diperlakukan seperti itu. Dan Tante Mawar berjalan keluar dari kamar
Anggi
<3<3<3
Hidup Anggi sepenuhnya
berubah. Tak ada lagi saat-saat dia harus panas-panas mencari uang, kini dia
hanya duduk diam di bangku sekolah, belajar dan belajar. Dia cukup bahagia
dengan hidup barunya yang serba kecukupan. Walaupun kadang-kadang, dia sering
teringat Bang Raul dan teman-temannya.
Tak jarang, Anggi melihat
Andra, sahabatnya dulu, di lampu merah, setiap pulang sekolah. Ingin sekali ia
menyapa, namun selalu dilarang oleh mamanya yang kebetulan selalu mengantar
jemputnya. Anggi tau alasan mamanya melakukan hal itu, kini Anggi bukan lagi
seorang bocah tak berguna, dia kini anak tunggal keluarga ternama di Indonesia,
apa jadinya bila anak keluarga terpandang berteman dengan pengamen.
“Anggi, sini sayang…”panggil
Tante Mawar.
“Iya. Ma… Ada apa?”tanya
Anggi.
“Sebentar lagi, Anggi ulang
tahun kan?”balas Tante Mawar.
“Iya, tapi Mama tau dari
mana?” “Dari Papa, sayang. Anggi mau
ngerayain ulang tahun Anggi nggak?”tawar
Tante Mawar.
“Memang boleh, Ma?” “Ya
boleh dong sayang… Kan Anggi anak Mama…
Gimana?”jawab Tante Mawar.
“Iya, Anggi mau, Ma…”jawab
Anggi menyetujui.
“Ya udah, nanti Mama pesenin
gedungnya ya… Anggi mau ngundang siapa
aja?”tanya Tante Mawar.
“Anggi boleh ngundang siapa
aja?” “Ya bolehlah, kan ini ulang tahun Anggi…”jawab Tante Mawar.
“Anggi mau ngundang
temen-temen sekolah Anggi sama Bang Raul dan anak-anak pengamen, boleh Ma?”ujar
Anggi dengan girang.
“Temen-temen sekolah Anggi boleh, tapi Bang Raul Raul dan anak-anak
pengamen nggak boleh.”ucap Tante Mawar tegas.
“Lho, kenapa, Ma? Tadi Mama
bilang, boleh siapa aja…”protes Anggi.
“Anggi, udah berapa kali Mama bilang, kamu kan anak keluarga terpandang di
sini, nggak lucu ceritanya kalo Anggi ngundang pengamen-pengamen itu. Memalukan
Anggi…”jawab Tante Mawar.
“Tapi
Ma...” “Nggak ada tapi-tapian Anggi.”potong Tante Mawar tegas.
Anggi hanya
bisa menurut saja. Dia berbalik menuju kamarnya dengan lesu. Dia merindukan
teman-teman pengamennya. Bang Raul. Andra, dan semuanya. Keinginannya untuk
bisa bertemu dengan mereka di hari ulang tahunnya telah pupus, sang mama telah
dengan tegas melarangnya, Anggi pun hanya bisa menurut.
Tak terasa,
persiapan ulang tahun Anggi sudah tujuh puluh lima persen selesai. Gedung sudah
didekor, tart sudah dipesan, undanganpun telah dibuat tinggal dikirimkan. Tapi
entah mengapa, perasaan Anggi masih tak tenang, dia masih ingin mengundang
sahabat-sahabat pengamennya itu, walaupun telah dilarang.
Dan
akhirnya, pesta dihelat. Seluruh tamu undangan hadir. Begitu juga bintang
tamu-bintang tamu pun telah datang, termasuk D’Masiv, band kesukaan Anggi.
Setelah tiup lilin dan potong kue, D’Masiv dengan senang hati mengajak Anggi
untuk menyanyikan lagu favorit Anggi, Jangan Menyerah.
Saat
menyanyikan lagu itu, bayangan-bayangan saat ia mengamen bersama teman-temannya
berputar di kepalanya. Seketika, ia merasa kepalanya pusing. Anggi meremas
kepalanya dengan erat, mencoba menghilangkan pusing itu, tapi gagal. Pusing itu
makin menggila, Tante Mawar dan Om Iam menatap putri angkat mereka dengan
sangat cemas. Sedangkan, Rian D’Masiv menghentikan lagunya dan menahan tubuh
Anggi agar tidak terjatuh.
Sesaat
kemudian, terdengar banyak suara pekikan. Ada yang menyebut nama Anggi, ada
juga hanya mengatakan ‘Ah’. Yah, Anggi terjatuh pingsan di tangan Rian. Dengan
cepat, Rian menggendong Anggi menuju mobil, disusul Om Iam dan Tante Mawar.
Mereka membawa Anggi ke rumah sakit.
Sesampai di
rumah sakit, Anggi segera diperiksa oleh dokter. Jelas saja, hati Om Iam dan
Tante Mawar dipenuhi kekhawatiran. Anggi tak pernah sakit selama ini, dia
selalu terlihat sehat, dan Om Iam serta Tante Mawar sangat menyayangi Anggi.
Liam belas menit kemudian, dokter keluar.
“Bagaimana
putri saya, dok? Dia kenapa?”cecar Om Iam.
“Bapak dan
Ibu tenang saja, Anggi hanya demam karena kelelahan dan tertekan. Sebentar lagi
dia pasti akan bangun.”jawab dokter yang bernama Dokter Mita dengan senyuman.
“Kami boleh
menemuinya?” “Oh, tentu saja boleh. Tapi jangan mengganggu istirahatnya.”jawab
Dokter Mita lagi.
Om Iam dan
Tante Mawar pun masuk ke ruangan Anggi. Di sana terlihat, Anggi yang tengah
tidak sadarkan diri dengan infus menancap di tangan kanannya. Wajahnya sangat
pucat, membuat Om Iam dan Tante Mawar cukup miris dengan keadaannya. Saat
menyentuh kening Anggi, dapat terasa tingginya demam bocah itu.
Beberapa
saat kemudian, Anggi pun tersadar. Walaupun pandangannya masih memburam karena
pusing, Anggi dapat melihat Om Iam dan Tante Mawar ada di sampingnya, tengah
menatapnya dengan khawatir. Karena tak ingin membuat mereka makin khawatir,
Anggi pun tersenyum pada keduanya, mencoba menjelaskan bahwa dia baik-baik
saja.
“Anggi…
Anggi kenapa sayang? Kenapa Anggi bisa sakit kayak gini?”tanya Tante Mawar,
sedikit terisak karena baru saja dia menangis.
“Anggi
nggak papa kok, Ma… Anggi cuma capek aja…”jawab Anggi lemah.
“Anggi mau
apa, sayang? Hem? Biar Papa kasih…”tawar Om Iam, mengingat penjelasan Dokter
Mita kalau Anggi demam karena tertekan.
“Anggi mau
Bang Raul sama temen-temen pengamen Anggi dulu, Pa… Anggi kangen sama mereka,
tapi Anggi nggak boleh ketemu mereka…”ucap Anggi dengan suara bergetar, menahan
tangis.
“Anggi
bener-bener pengen ketemu mereka?”Anggi mengangguk.
“Ya udah,
nanti Papa suruh mereka ke sini, tapi Anggi janji sama Papa. Anggi harus cepet
sembuh ya…”ucap Om Iam mantap.
“Pa…”tegur
Tante Mawar, tapi Om Iam sama sekali tidak peduli.
“Beneran,
Pa?” “Iya, sayang…”jawab Om Iam.
Anggi
tersenyum senang. Akhirnya rasa rindunya terwujud juga. Dalam hati, Anggi pun
berjanji agar cepat sembuh. Tante Mawar sendiri hanya terdiam, terpaksa
menuruti keputusan Om Iam, daripada putrinya sakit terus.
Keesokan
harinya, suasana kamar rawat Anggi cukup menyenangkan. Tante Mawar membawakan
majalah kesukaan Anggi. Anggi sendiri juga merasa sudah baikan. Dia ingin
cepat-cepat keluar dari rumah sakit yang membosankan ini. Tiba-tiba, terdengar
ketukan pintu dari luar kamar rawat Anggi.
Tante Mawar
beranjak dari duduknya dan membukakan pintu. Seketika wajahnya mengeras, ia
melihat Bang Raul dan teman-teman pengamen Anggi dulu di depan pintu itu,
bersama Om Iam. Dan dengan terpaksa, dia mempersilahkan mereka masuk. Saat
Anggi melihat Bang Raul dan teman-temanya, termasuk Andra, senyumnya langsung
merekah.
“Bang Raul…
Andra… Kalian…”ucap Anggi senang.
“Hei. Elu
kenapa, Nggi?”tanya Bang Raul sambil menyentuh kening Anggi, Tante Mawar sempat
ingin melarang itu tapi ditahan oleh suaminya.
“Nggak papa
kok, Bang… Cuma kecapekan aja…”jawab NAggi dengan senyum merekah.
“Ah, elu
neh, capek doang juga kenapa mesti masuk rumah sakit? Manja banget sih? Ya udah
cepet sembuh ya, Nggi. Oya, neh anak-anak juga ikut, Andra juga noh. Ndra, sini
lu…”Bang Raul memanggil Andra.
“Apaan,
Bang?”tanya Andra.
“Yee elu
neh, ini Anggi. Katanya elu kangen ame dia?” “Eh, apaan, bang… Kagak kok…
Jangan dengerin Bang Raul, Nggi…”bantah Andra dengan malunya.
“Hahaha… Lo
nggak kangen gue dong, Ndra?”tanya Anggi ikut menggoda Andra.
“Ya, kangen
sih… Eh, elu cepet sembuh ya…”jawab Andra.
“Siip…
Papa…”jawab Anggi sambil memanggil papanya.
“Iya,
sayang?”balas Om Iam sambil menghampiri Anggi.
“Anggi
boleh minta satu hal lagi sama Papa nggak?”tanya Anggi.
“Boleh dong
sayang, banyak hal juga boleh kok. Apa itu?” “Boleh, Andra dan temen-temen
Anggi lainnya, sekolah di sekolah Anggi? Anggi nggak mau mereka ngamen lagi.
Boleh Pa?”pinta Anggi.
“Boleh dong
sayang, niat Anggi kan baik, Papa nggak berhak dong menolaknya. Jadi nanti,
waktu Anggi udah sembuh, temen-temen Anggi juga akan masuk ke sekolah Anggi.
Makanya, Anggi cepet sembuh ya…”jawab Om Iam dengan bangga.
“Makasih,
Pa…”ucap Anggi.
“Makasih
banget ya, Anggi sama Pak Iam. Kalian bilang makasih sana sama Anggi sama pak
Iam.”suruh Bang Raul.
“Makasih
Anggi, Makasih Pak Iam…”ucap semua teman-teman pengamen Anggi yang ada di ruang
rawat Anggi itu.
Sejak saat
itu, Anggi menjalani hari-harinya dengan lebih bahagia. Kini tak ada lagi
sahabat-sahabatnya yang mengamen di lampu merah, walapun terkadang mereka
mengamen untuk kesenangan pribadi, kini mereka hanya bersekolah dan belajar.
Hidup mereka kini ditanggung oleh Om Iam dibantu Bang Raul. Kini semuanya
berjalan dengan penuh kebahagiaan. Dan cerita ini pun berakhir dengan bahagia.
-SELESAI-
Komentar
Posting Komentar