Kasih Seorang Ayah
Hari ini anakku lahir. Seoarang anak perempuan yang sangat cantik, mirip istriku. Tak hanya itu, matanya yang sipit dan memancarkan kebahagiaan pun sangat indah. Aku menggendongnya, menimangnya, dan berbisikpadanya.
“Ayah berjanji padamu, nak. Apapun yang terjadi Ayah akan selalu bersamamu, menjagamu, dan menyayangimu.”
Setiap hari ku selalu berusaha luangkan waktu untuknya. Bermain dengannya, mengantarnya sekolah lalu menjemputnya, membantunya mengerjakan tugas, dan menemaninya sebelum tidur. Apapun aku lakukan asalkan dua bahagia, asalhkan dia merasa nyaman dan aman.
Secara perlahan, ia bertumbuh dan berkembang. Menjadi seorang remaja cantik dan pintar. Aku bangga melihatnya. Dan waktu ia telah bertambah besar, aku masih terus melakukan segala hal yang bisa membuat dia bahagia. Aku tidak akan membiarkan ankku sendirian.
Hingga hari itu tiba, hari di mana aku melihat wajah pucatnya. Hari di mana aku mendengar rintihannya, dan hari di mana istriku mengatakan padaku.
“Ayah… Jangan marah padanya. Dia…Dia…” Istriku tidak menyelesaikan ucapannya, tapi aku bisa mengerti apa maksudnya.
Anakku, putrid cantikku, yang selalu ku temani, yang selalu ku jaga, dan ku saying, kesuciannya kin telah hilang.kini di dalam kandungannya terdapat sebuah janin yang kelak akan menjadi cucuku. Aku merasa telah gagal menjadi ayah untuknya. Dan saatku melihatnya menangis di hadapanku dengan dipeluk istriku, aku merasa…ku merasa hatiku sangat perih.
“Ayah… maafkan aku…” Begitu ucapnya sambil menangis di hadapanku.
Sungguh, aku tak tahan melihatnya menangis. Namun, di dalam sini, di dalam hatiku, semua berkecamuk. Dan sejemak aku melihat kembalisemua kejadian yang ku alami bersamanya. Saat aku menggendongnya dan berjanji padanya di hari lahirnya, saat aku menenangkannya bila dia menangis, saatku menyelimutinya, saatku mengantanya ke sekolah pertamanya. Dan saatku mengecup keningnya dengan bangga. Semua itu membuatku semakin berkecamuk.
Kembali ku tatap anakku. Matanya tak lagi pancarkan kebahagiaan, melainkan sebuah rasa sedih yang becampur takut. Dia takut aku memarahinya, dai takut aku memukulnya. Namun , tidak, ini bukan salahnya, ini semua memang jalanTuhan. Aku memeluknya dan kembali berbisik padanya, sama seperti saat dia baru saja lahir.
“Ayah menyayangimu, nak. Ayah menyayangimu juga anak dalam kandunganmu. Ayah berjanji, apapun yang terjadi Ayah akan bersamamu, menjagamu, dan menyayangimu, juga anakmu kelak.”
Dan seketika, tangisku memecah bersatu bersama dengan tangisnya, dan tangis istriku.
Hari ini anakku lahir. Seoarang anak perempuan yang sangat cantik, mirip istriku. Tak hanya itu, matanya yang sipit dan memancarkan kebahagiaan pun sangat indah. Aku menggendongnya, menimangnya, dan berbisikpadanya.
“Ayah berjanji padamu, nak. Apapun yang terjadi Ayah akan selalu bersamamu, menjagamu, dan menyayangimu.”
Setiap hari ku selalu berusaha luangkan waktu untuknya. Bermain dengannya, mengantarnya sekolah lalu menjemputnya, membantunya mengerjakan tugas, dan menemaninya sebelum tidur. Apapun aku lakukan asalkan dua bahagia, asalhkan dia merasa nyaman dan aman.
Secara perlahan, ia bertumbuh dan berkembang. Menjadi seorang remaja cantik dan pintar. Aku bangga melihatnya. Dan waktu ia telah bertambah besar, aku masih terus melakukan segala hal yang bisa membuat dia bahagia. Aku tidak akan membiarkan ankku sendirian.
Hingga hari itu tiba, hari di mana aku melihat wajah pucatnya. Hari di mana aku mendengar rintihannya, dan hari di mana istriku mengatakan padaku.
“Ayah… Jangan marah padanya. Dia…Dia…” Istriku tidak menyelesaikan ucapannya, tapi aku bisa mengerti apa maksudnya.
Anakku, putrid cantikku, yang selalu ku temani, yang selalu ku jaga, dan ku saying, kesuciannya kin telah hilang.kini di dalam kandungannya terdapat sebuah janin yang kelak akan menjadi cucuku. Aku merasa telah gagal menjadi ayah untuknya. Dan saatku melihatnya menangis di hadapanku dengan dipeluk istriku, aku merasa…ku merasa hatiku sangat perih.
“Ayah… maafkan aku…” Begitu ucapnya sambil menangis di hadapanku.
Sungguh, aku tak tahan melihatnya menangis. Namun, di dalam sini, di dalam hatiku, semua berkecamuk. Dan sejemak aku melihat kembalisemua kejadian yang ku alami bersamanya. Saat aku menggendongnya dan berjanji padanya di hari lahirnya, saat aku menenangkannya bila dia menangis, saatku menyelimutinya, saatku mengantanya ke sekolah pertamanya. Dan saatku mengecup keningnya dengan bangga. Semua itu membuatku semakin berkecamuk.
Kembali ku tatap anakku. Matanya tak lagi pancarkan kebahagiaan, melainkan sebuah rasa sedih yang becampur takut. Dia takut aku memarahinya, dai takut aku memukulnya. Namun , tidak, ini bukan salahnya, ini semua memang jalanTuhan. Aku memeluknya dan kembali berbisik padanya, sama seperti saat dia baru saja lahir.
“Ayah menyayangimu, nak. Ayah menyayangimu juga anak dalam kandunganmu. Ayah berjanji, apapun yang terjadi Ayah akan bersamamu, menjagamu, dan menyayangimu, juga anakmu kelak.”
Dan seketika, tangisku memecah bersatu bersama dengan tangisnya, dan tangis istriku.
Komentar
Posting Komentar