Langsung ke konten utama

[CERPEN] Mata untuk Cakka

Title : Mata untuk Cakka
Cast : Alvin, Cakka, Sivia, Oma CakVIn, Papi, and other again
Genre : Brothership, family, little(?) romance, and sad ending
Author : TaLyt

*Ini cerita muncul, pas kemaren chat bareng Ayu, kepikiran buat cerpen barengan, dengan tema dan couple yang sama, tapi ceritanya beda okee? Oya, ini cerpen CakVin pertama yang aku buat, dan temanya keluarga/brothership. so, aku minta tolong banget sama kalian untuk komen dan like abis baca. karena komen kalian itu berharga buat aku eh, tapi bukan komen yang 'i like it, tag dong.' kalo ada yang nulis komen kayam gitu, dengan berat hati banget, aku terpaksa hapus komenannya. at least, HAPPY READ ALL :)


Alvin duduk di lantai rumah pohonnya. Rumah pohon yang menajdi saksi bisu perjalanan hidupnya dari kecil hingga sebesar ini. rumah pohon yang merekam segala kenangan masa kecilnya bersama adiknya, Cakka. Di rumah pohon ini, mereka selalu menghabiskan waktu bersama. Bermain game, bermain basket, belajar, bahkan tidur pun mereka bisa lakukan di rumah pohon ini.

Tapi itu dulu. Yah dulu. Sebelum kecelakaan mengerikan itu terjadi. Kecelakaan yang merenggut  penglihatan Cakka, kecelakaan yang merenggut nyawa Mami mereka. Kini Cakka berubah menjadi sosok yang pendiam, bukan lagi adik kecil Alvin yang selalu ceria dan bersemangat. Bahkan, Cakka sama sekali tidak mau berbicara
semenjak ia tersadar dari komanya dan tau bahwa dirinya telah buta.

“Maafin Kakak, Kka... Kalo aja waktu itu bukan Kakak yang nyetir, Mami ga akan meninggal, dan kamu ga akan buta... Maafin Kakak, Kka...”ucap Alvin lirih.

Yah, memang saat kecelakaan itu terjadi, Alvin lah yang mengendalikan laju mobil. Dan saat mobil itu tiba-tiba tidak bisa dikendalikan, karena rem blong, Alvin pun membanting setir sehingga menabrak pohon. Mami mereka mengehembuskan nafas terakhir saat itu juga karena kehabisan darah, dan Cakka harus kehilangan penglihatannya setelah koma selama seminggu. Sedangkan, Alvin hanya mengalami luka ringan di bagian kepalanya.


Hal itulah yang membuat Alvin merasa bersalah hingga saat ini. Bahkan papinya pun juga ikut menyalahkannya atas kecelakaan itu. Sampai-sampai, Papinya sudah tidak mau peduli pada Alvin. Untung saja, masih ada Oma yang masih mau menerima Alvin dan menganggap semua ini hanya kecelakaan, bukan kesalahan Alvin.

“Alv... Dicariin kemana-mana, di sini ternyata...”sebuah suara halus dan lembut masuk ke dalam rongga telinga Alvin saat Alvin tengah asyik mengingat lembaran masa kecilnya.
“Siv... Ada apa?”tanya Alvin saat tau bahwa pemilik suara itu adalah Sivia, sahabatnya dari kecil, sahabat Cakka
juga.
“Turun yuk, makan siang. Oma udah nungguin tuh di ruang makan...”jawab Sivia.

Tanpa menjawab Sivia, Alvin melompat dari tempat ia duduk. Sivia sempat memekik takut saat Alvin melakukan hal itu. Ouh, yang benar saja, rumah pohon ini cukup tinggi dan berpotensi membuat seseorang gegar otak karena jatuh dari atas. Melihat ekspresi Sivia yang ketakutan itu, Alvin tersenyum nakal, lalu mengacak rambut Sivia dengan gemas.

“ALVIN! RAMBUT AKU BERANTAKAN TAUUU!”teriak Sivia kesal.
“TETEP CANTIK KOK!”balas Alvin dari kejauhan.

Sivia tersenyum mendengar balasan Alvin itu. Dasar Alvin. Selalu bisa membuatnya merasa senang. Memang Alvin sering mengacak rambutnya hingga berantakan, tapi sesering itu juga, Alvin akan memujinya cantik. Dan itu cukup membuat Sivia merasakan jantungnya berdegup sepuluh kali lebih cepat dari biasanya. Ouh, Sivia jatuh cinta pada Alvin!

***

Makan siang sudah selesai, Alvin memutuskan untuk mengajak Sivia keluar untuk jalan-jalan. Ia merasa perlu sedikit refreshing saat ini. Dan dengan senang hati, Sivia mengiyakan permintaan Alvin. Mereka pun berkeliling kota Surabaya dan menikmati suasana ramai Surabaya di siang hari. Mereka juga berkeliling di Tunjungan Plaza, entah apa yang mereka cari.

“Siv, topi ini bagus ga?”tanya Alvin saat mereka memasuki sebuah toko aksesoris yang menjadi langganan mereka dari dulu.
“Bagus, Alv. Tapi kalo buat kamu ga cocok deh. Kamu tuh ga cocok kalo pake topi...”jawab Sivia.
“Bukan buat aku kok, Siv. Buat Cakka. Bentar lagi kan dia ulang taun...”balas Alvin.

Sivia tercenung, ia serasa tertohok karena melupakan ulang tahun adik Alvin itu. “Oh My God! Kenapa aku bisa lupa ya sama ulang taun Cakka... Aduuuh, Sivia, bego banget sih...”gerutu Sivia.

“A’elah, ini gimana, bagus ga? Cocok kan buat Cakka?”tanya Alvin.
“Iya, cocok, cocok banget. Cakka juga suka warna ungu kan?”balas Sivia.
Alvin terdiam, ia menatap topi yang ia pegang. “Tapi Cakka ga bisa liat topi ini...”
Sivia dapat melihat tatapan Alvin yang berubah sayu. Sivia menepuk bahu Alvin pelan. Ia mencoba menyalurkan
energi semangat pada Alvin. “Al... Cakka pasti bisa liat topi ini kok, suatu hari nanti. Pasti”
“Hanya kalo dia dapet donor mata yang cocok dengannya.”Mata Alvin mulai berkaca-kaca, mengingat hingga saat ini, Cakka belum mendapat donor mata yang cocok.
“Ah, udah. Ngapa mellow gini sih, Alv? Udah yuk, kamu bayar tuh topinya, abis itu kita pulang. Kamu pasti capek banget. Muka kamu sampe pucet gitu.”ucap Sivia.

Alvin mengangguk. Perkataan Sivia memang benar, dia benar-benar merasa capek saat ini. entah karena apa. Ia juga merasa kepalanya terasa agak pening. Tidak mungkin karena ia tidak makan siang. Alvin pun berjalan menuju kasir dan membayar topi itu. Sehabis membayar topi itu, Alvin dan Sivia pun berjalan menuju basemant untuk pulang.

Tapi saat sampai basemant, tiba-tiba, pening di kepala Alvin makin menjadi. Pandangan mata Alvin tiba-tiba memburam, dan lama kelamaan menjadi gelap. Tubuhnya terasa lemas dan seperti melayang. Alvin terjatuh pingsan. Sivia sempat memekik kaget, tapi ia langsung membawa Alvin menuju mobil. Untungnya, dia bisa membawa mobil.

Sivia tidak membawa Alvin pulang ke rumah, tapi ia membawa Alvin menuju rumah sakit. Perasaan takut yang mengelilingi hatinya membuatnya tidak bisa membawa Alvin pulang ke rumah saat ini. Alvin harus dibawa ke rumah sakit. Sesampai di rumah sakit, Alvin langsung diperiksa oleh dokter, Sivia hanya bisa menunggu di depan ruang UGD sambil menghubungi Oma Alvin.

“Sivia...”Sivia mendengar namanya lima belas menit setelah ia menelpon Oma. Ia tau, itu suara Oma.
Sivia menoleh. “Oma...”
“Alvin kenapa, sayang?”tanya Oma saat sudah tiba di depan Sivia.
“Sivia juga ga tau, Oma. Tadi, waktu kita lagi di mall, Alvin pucet, dan Sivia ngajak dia pulang. tapi tiba-tiba, pas udah sampe di basemant, Alvin pingsan. Sivia langsung bawa dia ke sini...”jawab Sivia.
“semoga Alvin baik-baik aja... Dia ga pernah kayak gini sebelumnya...”ucap Oma lirih.
“Iya Oma... Oya, Cakka ga ikut?”tanya Sivia.
Tatapan mata Oma yang semula sayu, menjadi makin sayu mendengar pertanyaan Sivia. “Kamu tau sendiri, Sivia, Cakka seperti apa sekarang. Dia ga mau peduli lagi pada kakaknya...”
“Oma yang sabar ya, Sivia yakin, Cakka pasti kembali. Dan dia pasti bisa ngeliat lagi.”ujar Sivia, mencoba membesarkan hati Oma.
“Permisi, keluarga Alvin Angelo?”suara berat dan berwibawa memecah suasana sendu di antara Sivia dan Oma Alvin.
“Saya Omanya, Dok. Alvin bagaimana?”tanya Oma.
“Sebaiknya, kita bicara di ruangan saya saja...”jawab dokter itu.
“Baik. Sivia, kamu tunggu di sini ya, sayang...”kata Oma kepada Sivia.
“Iya Oma.”jawba Sivia.

Sebenarnya, Sivia diselimuti oleh rasa ingin tau akan keadaan Alvin sebenarnya. Tapi dirinya hanya bisa menaati perkataan Oma Alvin. beberapa menit setelah Oma dan dokter itu berlalu dari ruang UGD, sebuah mistar hitam didorong oleh dua orang suster. Alvin. Sivia pun menghampiri Alvin dan membantu suster-suster itu membawa Alvin menuju runag rawat biasa.

Oma sendiri mengikuti dokter yang ber-name tag ‘Joe’ itu menuju ruangannya. Setelah Dokter Joe membukakan pintu, Oma pun masuk dan duduk di kursi yang berhadapan dengan Dokter Joe. Oma menunggu Dokter Joe berbicara. Dan setelah menghirup nafas cukup panjang, Dokter Joe pun berbicara, tatapan matanya cukup serius.

“Begini Ibu...” “Panggil saya, Oma saja, Dok...”potong Oma cepat.
“Baik. Oma, saya ingin bertanya satu hal. Apakah Alvin punya riwayat mengalami gegar otak ringan dulu?”tanya Dokter Joe.
Oma tampak berpikir keras. Lalu tiba-tiba beliau seperti mengingat sesuatu. “Iya, Dok. Sewaktu ia masih umur sepuluh tahun, ia sempat terjatuh dari rumah pohonnya dan mengalami gegar otak ringan. Lalu, kenapa, Dok?”
“Saya merasa, kejadian pingsannya Alvin hari ini, merupakan efek dari gegar otak yang pernah ia alami dulu. Dan, ini bukan efek yang pertama kali Alvin rasakan.”ucap Dokter Joe.
“Maksud Dokter?”tanya Oma.
“Alvin pernah mengalami pusing seperti ini, tapi tidak sampai pingsan. Dan saya rasa, Alvin mengabaikan hal itu.”jawab Dokter Joe.
“Alvin memang sering mengeluh kalau dia pusing, Dok. Tapi dia selalu berkata, hanya minum obat sakit kepala biasa sudah reda. Apa pusing yang dialami Alvin itu serius, Dok?”tanya Oma.
“Iya. Sangat serius. Saya mendiagnosis adanya penyumbatan darah di otak Alvin, dan itu bisa berdampak fatal bagi dirinya. Tetapi, sebelum memastikan hal itu, saya harus melakukan CT-Scan terhadap Alvin.” “Lakukan apapun yang terbaik buat cucu saya, Dok.”suruh Oma cepat.

Dokter Joe mengangguk. Ia mengambil telepon genggam di atas mejanya lalu menghubungi suster di resepsionis untuk menyiapkan ruang CT-Scan dan juga untuk membawa Alvin menuju ruangan itu. Oma Alvin pun pergi ke administrasi untuk menyelesaikan biaya sebelum menuju Sivia.

Setelah mengetahui mengapa Alvin tiba-tiba dibawa begitu saja, Sivia pun menghampiri Oma yang duduk di depan ruang CT-Scan. Sivia menepuk bahu Oma lembut yang membuat Oma mendongak. Sekilas, Sivia bisa melihat bahwa Alvin tidak baik-baik saja. Tapi Oma memberikannya senyum getir.

“Oma, Alvin baik-baik aja kan?”tanya Sivia.
“Alvin ga baik-baik aja, Sivia. Dokter bilang, ada penyumbatan di otak Avin, dan itu bisa berakibat fatal bagi dirinya. Dan CT-Scan ini dilakukan untuk memastikan.”jawab Oma.

Sivia menutup mulutnya dengan tangannya, ia sungguh terkejut akan perkataan Oma. Selama ini, Alvin baik-baik saja, kenapa tiba-tiba bisa mengalami hal ini. Tanpa disadarinya, setetes air bening mengalir di pipi putih Sivia. Sivia pun memeluk Oma, mencoba menguatkan Oma dan juga menguatkan dirinya sendiri, tentunya.

***

Semua ucapan Dokter Joe waktu itu benar. Alvin memang mengalami penyumbatan darah di otak. Dan hingga saat ini, Alvin belum sadar, atau koma. Selama itu juga, Sivia setia menunggui Alvin sampai melupakan jadwal kuliahnya sendiri. Oma memang sudah berulang kali menyuruh Sivia untuk pulang dan kuliah, tapi Sivia bersikeras untuk tetap menunggui Alvin hingga sadar.

Seperti hari ini, Sivia masih berada di sisi Alvin. Menunggu pemuda itu terbangun dari tidur panjangnya. Sivia menggenggam tangan Alvin dengan erat. Tak terasa, setetes air mata berhasil membuat sungai di pipinya. Sivia mencium tangan Alvin.

“Alv, bangun... Inget, Alv, lusa ulang taun Cakka... Kamu kan mau ngasih topi itu buat Cakka... Alv...”pinta Sivia lirih.

Sivia membenamkan wajahnya ke kasur tempat Alvin berbaring. Tetesan air mata kian menderas di kedua pipinya. Tiba-tiba, Sivia merasa sebuah gerakan dari tangan Alvin yang sedang ia genggam. Sivia mendongak dan mendapati Alvin yang mulai mengerjapkan matanya, Alvin sadar. Sivia segera memencet bel di atas kepala Alvin.

“Sssiivv..”ucap Alvin dengan susah karena masih memakai masker oksigen.
“Iya, Alv, ada yang sakit?”tanya Sivia.

Alvin melepas masker oksigennya dengan lemah. Tepat saat itu, Dokter Joe dan beberapa suster memasuki ruang rawat Alvin. sivia pun berdiri dan perlahan menyingkir dari sisi Alvin untuk memberi kesempatan kepada Dokter Joe untuk memeriksa keadaan Alvin.

“Syukurlah, kamu sudah sadar. Dan kondisi kamu saat ini, cukup stabil. Banyak-banyak istirahat ya Alvin... Saya permisi dulu...”ujar Dokter Joe.
“Iya, Dok.”jawab Alvin lemah.

Dokter Joe tersenyum. Ia lalu berjalan keluar bersama suster-suster yang tadi masuk dengannya. Selepas, Dokter Joe keluar, Sivia kembali mendekati Alvin. ia tersenyum senang. Akhirnya setelah lama, Alvin tertidur, ia pun bangun dengan kondisi tubuh yang baik dan stabil.

“Siv... Oma mana?”tanya Alvin.
“Oma lagi istirahat di rumah, Alv. Beliau keliatan kecapekan nungguin kamu semaleman. Kamu mimpi apa sih, kok tidur lama banget?”tanya Sivia dengan nada sedikit bergurau.
“Aku ketemu Mami, Siv. Mami cantiiiik banget...”jawab Alvin, suaranya terdengar bergetar.

Sivia terdiam. Ia tidak tau harus bicara apa saat ini. Sampai akhirnya, pintu ruang rawat Alvin kembali terbuka. Kini menampilkan sosok Oma dengan baju coklatnya, yang membuat Oma terlihat anggun. Oma tersenyum melihat Alvin yang sudah terbangun dan berbicara dengan Sivia, walaupun beliau tidak tau apa yang sedang mereka bicarakan.

“Alvin, akhirnya kamu sadar, sayang...”ujar Oma.
“Oma, Alvin...Alvin mau mendonorkan mata Alvin buat Cakka...”kata Alvin tiba-tiba yang membuat seisi ruangan itu terkejut.
“Alv! Kamu jangan gila!”pekik Sivia marah.
“Alvin mohon, Oma... Anggep ini adalah permintaan terakhir Alvin...”ujar Alvin lagi.
“Alv! Kamu jangan ngomong gitu, please!”pinta Sivia.
“Sivia, please, shut up!”sentak Alvin.

Sivia pun terdiam. Alvin menatap Omanya dengan penuh harap. Oma masih terdiam dan tampak berpikir keras. Lalu, sedetik kemudian, Oma tampak menggeleng. Mata beliau berkaca-kaca. Alvin mendenguskan nafasnya.

“Alvin mohon Oma... Alvin udah lelah, Alvin mau sama Mami di Sana. Alvin pengen sebelum Alvin pergi, Alvin masih bisa menebus kesalahan Alvin pada Cakka. Alvin mohon, Oma...”pinta Alvin sekali lagi.
Kini giliran Oma yang menghembuskan nafasnya. “Baik, Oma akan menuruti permintaan kamu...”
“Oma...”sela Sivia.
“Tapi kamu harus janji, sama Oma, sama Sivia. Kamu ga akan kemana-mana, kamu akan tetap di sini.”lanjut Oma tanpa mempedulikan Sivia.
“Oma...”ujar Sivia sekali lagi.
“Untuk itu...Oke, Alvin janji... Alvin janji sama Oma dan Sivia, Alvin akan tetap di sini.”jawab Alvin.

***

Setelah mendapatkan persetujuan dari Dokter Joe, Alvin pun bisa mengikuti operasi mata untuk mendonorkan matanya untuk Cakka. Cakka sendiri, meskipun tidak berbicara, tapi semua orang tau, bahwa Cakka cukup bahagia mendengar bahwa ada donor mata yang cocok untuk dirinya. Meskipun ia tidak tau bahwa mata itu adalah milik kakaknya.

Operasi berjalan hampir lima jam. Dua jam pertama, saat pembedahan mata Alvin, operasi berjalan lancar. Namun, saat mata Alvin mulai dipindahkan ke Cakka, detak jantung Alvin melemah. Dokter Joe yang bertugas memantau tubuh Alvin pun segera bertindak cepat, sedangkan Dokter Dave, dokter mata rumah sakit ini, terus melakukan proses pendonoran pada Cakka.

Jantung Alvin kembali normal setelah berbagai usaha dilakukan oleh Dokter Joe, termasuk berdoa. Operasi pun selesai dengan berhasil. Alvin dan Cakka, yang masih dalam pengaruh bius, dipindahkan ke ruang rawat yang sama. Oma, Sivia, dan Papi Alvin dan Cakka, mengikuti ke mana mistar yang ditempati kedua pemuda itu didorong.

Mereka bertiga pun menunggui Alvin dan Cakka secara bersama-sama, meskipun Papi lebih cenderung tidak peduli pada Alvin. Tapi tiba-tiba, setelah satu jam, Alvin dan Cakka dipindahkan, detak jantung Alvin melemah, kondisinya kritis. Sivia berlarian mencari Dokter Joe untuk segera memeriksa Alvin.

“Mohon semuanya keluar dari ruangan, biarkan Dokter Joe memeriksa pasien.”suruh seorang suster rumah sakit.
“Tapi saya ayahnya, Sus!”bentak Papi dengan suara khawatir.
“Tetap tidak boleh, Pak. Mohon pengertiannya ya...”jawab suster itu.
“Sudah, Duta, ayo kita keluar, Alvin dan Cakka juga butuh istirahat.”ujar Oma pada Papi.

Papi pun menurut dan berjalan lemas mendekati bangku di depan ruang rawat CakVin. Di dalam ruang rawat sendiri, Dokter Joe tampak kebingungan karena mendadak Alvin menjadi kritis seoerti ini. Setelah akhirnya, alat pendeteksi jantung Alvin menunjukkan garis lurus, Dokter Joe pun menggeleng. Alvin sudah pergi.

Dokter Joe keluar dari ruang rawat dengan wajah muram. Papi, Oma, dan Sivia segera mendekati Dokter Joe saat Dokter Joe keluar. Hati mereka bertiga jelas dipenuhi rasa ketakutan luar biasa saat melihat wajah muram Dokter Joe. Dan setelah Dokter Joe menghirup nafas dalam-dalam *perasaan nih dokter ngirup napas dalem” mulu deh-,- * ia mulai berkata.

“Maaf, Alvin... Tidak bisa dipertahankan. Ia sudah pergi.”kata Dokter Joe.

Papi tampak menggeleng keras. Matanya berkaca-kaca menahan tangis. Sedangkan Oma dan Sivia sudah menangis dengan keras. Hati mereka serasa dijatuhkan dari atas gedung pencakar langit. Mereka benar-benar tidak menyangka Alvin akan pergi secepat ini.

Sivia berlari menerobos Dokter Joe memasuki ruang rawat Alvin dan Cakka. Ia menangis sejadi-jadinya sambil menggenggam tangan Alvin yang mendingin. Sivia membenamkan wajahnya ke tangan Alvin. Tetesan air matanya menetesi tangan Alvin dan membuat tangan pemuda itu basah.

“Alv! Kamu udah janji sama aku, sama Oma, kamu ga akan ke mana-mana. Tapi kenapa kamu  melanggarnya? Kenapa, Alv?”ucap Sivia dengan isakan.

Sivia kembali menangis seusai berucap seperti itu. Beberapa saat kemudain, Papi dan Oma masuk. Keduanya sudah menangis dalam diam. Mereka sama-sama terpukul, tapi Papi terlihat lebih terpukul. Beberapa kali, beliau tampak mengusap wajahnya frustasi.

“Maafin Papi, Alvin... Sampai saat terakhir kamu aja, Papi ga peduliin kamu. Maafin Papi, Alv...”kata Papi.
“Kak Alvin...”tiba-tiba terdengar suara gumaman dari belakang tubuh mereka bertiga, Cakka.

Serentak mereka bertiga berbailk dan mendapati Cakka yang sedang menggapai-nggapai angin. Setitik rasa  lega memasuki hati mereka, tapi kemudian tergerus oleh rasa bimbang. Mereka bingung, apa yang mereka harus katakan pada Cakka setelah ini.

“Papi... Oma... Kalian di sini kan?”tanya Cakka, sedikit berteriak.
Papi mendekati Cakka dan mengusap rambut pemuda itu. “Iya, sayang. Papi di sini. Kak Alvin juga di sini.”
“Kak Alvin? Kak... Kak Alvin?”panggil Cakka, tapi tidak ada jawaban.

Cakka mengerut. Ia merasa hatinya bergejolak. Ia merasa ada sesuatu yang buruk terjadi pada kakaknya itu. Cakka tampak memutar kepalanya, mencoba menatap wajah Papi, walaupun sebenarnya ia masih belum bisa melihat. Matanya masih tertutup oleh perban.

“Papi, kenapa Kak Alvin ga jawab Cakka? Kak Alvin baik-baik aja kan, Pi?”tanya Cakka.
“Sini, sayang, Papi bantu kamu mendekati Kak Alvin.”Papi membantu Cakka berdiri dan membawakan botol infus Cakka.

Cakka menurut dan dengan mengikuti langkah papinya, Cakka mulai mendekati Alvin yang sudah mendingin. Lalu Papi meletakkan tangan Cakka pada tangan Alvin. Namun, seketika, tangan Cakka terlepas. Ia cukup terkejut saat merasakan tangan Alvin yang sangat dingin. Cakka mengerutkan dahinya lagi.

“Kenapa tangan Kak Alvin dingin? Papi? Oma? Jawab! Kenapa Kak Alvin dingin? Apa...Apa...”Cakka tidak melanjutkan perkataannya, kepalanya terasa pening mendadak.
“Alvin...udah pergi, Kka... Dia udah tenang di Sana...”kini Sivia mulai bersuara, walau suaranya terdengar aneh karena habis menangis.
“Apa? Ga... Kak Alvin ga mungkin pergi... Gaaaa!!!”Tiba-tiba, setelah berkata seperti itu, Cakka terjatuh lemas. Ia pingsan.

Kali ini bukan karena bius. Dokter Dave, yang menangani Cakka, masuk setelah dipanggil oleh Oma. Alvin sendiri segera diurus untuk dibawa pulang dan disemayamkan di rumah. Papi dan Oma sepakat untuk memakamkan Alvin setelah Cakka membuka perban matanya, dua hari lagi.

Dua hari kemudian, perban mata Cakka sudah dibuka. Matanya pun bisa diterima oleh Cakka dan Cakka bisa melihat. Tapi, Cakka malah kembali diam dan tak mau bicara sampai Alvin dimakamkan sore harinya. Papi sudah mencoba untuk mengajak Cakka berbicara, tapi gagal. Akhirnya, Sivia lah yang mengajak Cakka berbicara.

“Kka... Kamu harus kuat. Alvin ga akan suka adik kecilnya kayak gini. Ngomong, Kka...”ujar Sivia.

Cakka menoleh pada Sivia. Ia memeluk Sivia dengan erat. Beberapa saat kemudian, Sivia merasa bahunya basah. Cakka menangis. “Kak, Cakka nyesel ga sempet bilang apa-apa sama Kak Alvin. cakka bodoh banget mutusin untuk ga bicara selama Cakka buta. Cakka...”Cakka tidak melanjutkan kalimatnya.
“Semua yang terjadi ga seharusnya disesali, Kka. Oya, sebelum Alvin pingsan waktu itu, Alvin sempet beli ini buat kamu. Buat hari ulang taun kamu. Maaf, Kakak baru sempet kasih sekarang..”ujar Sivia.

Cakka melepas pelukannya dan menatap barang yang dimaksud Sivia. Dengan tatapan yang memburam karena air mata, Cakka masih bisa melihat sebah topi NY warna ungu yang selama ini diinginkannya ada di tangan Sivia. Dan itu, merupakan kado dari kakaknya. Air mata Cakka kembali mengalir, tapi tangan Sivia mendekat, lalu menghapus air mata di pipi Cakka itu,

“Heey, cowok tuh ga boleh nangis. Nih, pake. Oya, ada satu lagi. Ini kakak temuin di meja ruang rawat Alvin.”kata Sivia sambil memakaikan topi itu dan menyodorkan secarik kertas pada Cakka.

Cakka menerima kertas itu dan membukanya. Hati Cakka serasa tertohok saat melihat titik-titik bekas air mata di kertas itu, yang Cakka yakin adalah air mata Alvin. Setelah menghembuskan nafas, Cakka pun memulai membaca surat itu.

To My Little Brother

Cakka Michello

Hey, Kka! Apa kabar? Hihi, Kakak basa-basi banget ya? Orang tiap hari ketemu juga. Hehe... Kka, Kakak tau kamu sekarang pasti seneeeeng banget setelah dapet mata itu. Kakak juga seneng, Kka, kamu bisa ngeliat lagi. Kamu bisa main basket lagi. Tapi, Kakak minta maaf sama kamu, Kka. Kakak ga bisa ikut nemenin kamu main basket lagi, Kakak ga bisa sama kamu lagi.

Kamu pasti inget kan, waktu Kakak masuk rumah sakit dulu, gara-gara jatoh dari rumah pohon? Ternyata, efeknya muncul sekarang, Kka... Di dalam otak Kakak, ada penyumbatan darah. Kakak udah tau hal ini dari setahun yang lalu, sebelum kecelakaan itu terjadi. Dan saat kecelakaan itu terjadi, alasan kenapa Kakak kehilangan kendali atas mobil itu adalah karena saat itu, sakit itu dateng, Kka. Sakit banget. Dan akhirnya semua terbongkar, setelah Kakak jatuh pingsan di basemant mall waktu itu.

Saat itu, Kakak koma. Kakak koma selama seminggu, Kka. Kamu tau, waktu Kakak koma, Kakak ketemu Mami, Kka. Mami ngajak Kakak untuk ikut ke Sana. Kakak bilang iya, tapi Kakak harus lakuin satu hal dulu. Kakak mau nebus kesalahan Kakak ke kamu, Kka. Kakak mau ngasih kamu kado terindah di hari ulang tahun kamu.
Maaf, Kakak ga bisa lagi ucapin ‘happy birthday’ ke kamu. Tapi untuk yang terakhir kalinya, Happy Birthday, Cakka. Kakak sayaaaang banget sama kamu. Pesen Kakak, jaga mata Kakak itu ya, awas kalo kamu bikin ‘dia’ nangis. Dan, Kakak juga titip Kak Sivia ya, jagain dia, dan pastikan, Kak Sivia nemuin pasangan yang bener-bener mau jaga dia ya. Salamin ke dia, Kakak sayang sama Kak Sivia.

Udah dulu ya, Kka. Tangan Kakak lemeees banget. Terakhir, Kakak sayang kamu. Kakak janji, akan selalu jagain kamu dari sini, sama Mami.

With Love,

Alvin Angelo


Cakka terdiam. Ia menutup matanya dan menghirup udara lalu menghembuskannya. Cakka membuka matanya lalu menatap langit malam yang begitu indah karena dipenuhi bintang-bintang. Tapi ada dua bintang yang paling terang di antaranya. Cakka yakin, itu adalah bintang Alvin dan maminya.

“Cakka janji, Kak. Cakka pasti jaga mata ini, dan jugaa, jaga Kak Sivia buat Kakak...”gumam Cakka pelan, namun tegas.

Sesaat kemudian, salah satu bintang yang paling terang itu, berkedip. Seakan membalas gumaman Cakka itu. Cakka tersenyum alu mulai berjanji pada dirinya untuk memulai hidupnya dengan baik dan kembali menjadi Cakka yang dulu. Cakka adik kecilnya Alvin.


---THE END---


*Ceritanya rada berantakan ya? hehe, panjang lagi... 9halaman lhooo... tapi tetep ya, abis baca, tolong dikasih coment sama jempolnya. comentnya boleh kok panjang, pedes, atau apapun. yang penting komen yaaa... thank you for read my story all :) I Love you all :*

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[DRABBLE] : DON'T SICK AGAIN, YO...

[DRABBLE] : DON’T SICK AGAIN, YO… Pagi itu, saat upacara bendera, aku melihatnya yang tiba-tiba berlari. Semua mata menatap dirinya yang memucat. Ya ampun, dia kenapa? Aku pun memutuskan untuk mengikutinya. Dan ternyata, dia berlari ke arah toilet. Toilet cowok. Sesampai di toilet, aku bias mendengar suara orang muntah, yang kuyakini adalah dirinya. Sesekali terdengar batuk yang keras dan rintihan menahan rasa sakit. Aku harus masuk dan melihatnya. Aku sudah tidak peduli dengan status tempat ini yang bernama ‘toilet cowok’.

Aksonometri, Setelah Sekian Lama...

Dulu, waktu kelas dua SMA, aku diajarin guruku buat gambar desain perspektif, salah satunya teknik gambar aksnonometri. Dan, beberapa waktu lalu, aku sempet bikin gambar aksonometri lagi... Masih gambar super sederhana sih, tapi kalau berkenan, mohon dikomentarin yaa...

Abstrak~ (1/Juni/2013)

Gue ga tau ini apa, gue cuma kepengen buat ngepost sesuatu setelah sekiaaaaan lama gue ga post apapun di sini. Gue bingung sebenernya mau cerita apaan.  Ah iya, beberapa hari lalu, gue memulai jadi seorang Tata yang baru.Setelah gue ngelaluin sebuah kejadian yang bikin mata gue bener-bener terbuka untuk jadi Tata yang lebih konsistaen. Gue bakal berubah jadi Tata yang baru. Gue bakal jadi Tata yang selalu ngandelin Yesus di hidup gue. Gue bakal berubah jadi Tata yang ga lagi hanya mikirin diri gue sendiri. Gue bakal berubah jadi Tata yang ga lagi hanya bermain-main dalam hidup. Gue bakal serius sama hidup gue kali ini. Sama jalan yang gue pilih. Dan ga akan ada yang bisa ngehalangin itu, kecuali Tuhan ga ijinin gue.Dan gue, bakal berubah menjadi Tata yang jauh lebih kuat, yang ga bakal lemah karena liat orang