IRUS
Jazz biru-ku
memasuki halaman sebuah rumah bernuansa Eropa. Ah, aku merindukan rumah ini.
Aku lalu melangkah masuk ke rumah ini setelah mobilku berhenti dengan sempurna
di depan pintu utama. Tanganku mengetuk beberapa kali, hingga akhirnya, seorang
wanita paruh baya membukakan pintu dengan sebuah senyuman yang terukir indah.
“Ah, Mbak
Lyla... Apa kabar, Mbak? Lama ga ke sini lho...”ujar wanita itu, Bik Inah,
pembantu rumah ini.
Aku tersenyum.
“Iya, Bik, saya lagi sibuk skripsi, jadi susah cari waktu buat ke
sini...”jawabku.
“Oh gitu... Oh
iya, masuk, Mbak...”Bik Inah mempersilahkan aku masuk.
Aku melangkah
masuk ke dalam rumah itu. Suasana rumah bernuansa Eropa langsung menyergapku,
di sini juga dingin. Tapi, langkahku terhenti saat melihat sebuah foto
berukuran besar terpampang di ruang keluarga. Foto keluarga. Keluarga yang
terlihat cukup bahagia. Sesosok laki-laki muda di sebelah kanan seorang wanita
berusia sekitar empat puluh tahunan menyita perhatianku. Aku menoleh pada Bik
Inah yang masih ada di sampingku.
“Bik, Irus
gimana?”tanyaku pada Bik Inah.
“Mas Irus masih
belum mau bicara, Mbak. Kerjanya cuma bengong di jendela sambil megangin foto
mendiang Ibu. Saya suka bingung kalo berhadapan sama Mas Irus.”jawab Bik Inah.
Aku membulatkan
bibirku. “Oh, begitu... Saya ke kamar Irus dulu ya, Bik.”ucapku.
“Iya, silahkan,
Mbak. Oya, Mbak mau minum apa?”tanya Bik Inah.
“Gak usah, Bik.
Saya gak lama kok...”tolakku halus.
Bik Inah
tersenyum lalu mengangguk. ia pun pamit ke dapur, ada pekerjaan yang harus beliau
selesaikan, katanya. Aku sendiri masih terdiam di depan foto ini. Tak lama
kemudian, aku berbalik dan berjalan menuju tangga rumah yang cukup megah.
Perlahan aku menapaki tangga itu satu persatu, sampai akhirnya aku tiba di
depan sebuah pintu berwarna gold.
Perlahan, aku
membuka pintu itu -setelah tadi aku mengetuknya namun tidak ada tanggapan-. Aku
memasuki kamar itu dengan jantung berdebar. Ku lihati sekeliling kamar ini.
Masih tetap bersih dan serba putih, warna favorite sang pemiliknya. Saat
memalingkan wajahku ke jendela, aku terkejut saat melihat seseorang sedang
duduk di sana sambil termenung. Itu Airus, Irus.
Pemuda itu,
selalu ada di sana semenjak hari kematian ibunya, mamanya, Tante Rose. Ia
mengalami suatu guncangan jiwa yang dahsyat. Hal ini karena, ia melihat sendiri
kejadian saat Tante Rose meregang nyawa, tertusuk belati tajam milik ayahnya,
Om Rusdi, yang saat ini mendekam di penjara karena kesalahannya itu.
“Airus...
Irus... Hai...” Aku menyapanya dengan lembut.
Ia tak
bergeming. Tetap diam menatap luar jendela. Entah apa yang ditatapnya. Aku
menghela nafas dalam-dalam. Aku terus memandangi punggung tegap pemuda itu
sambil mengingat kejadian setahun yang lalu.
-----
Setahun yang lalu...
Sore itu, aku
baru saja keluar dari kelas terakhirku, saat tiba-tiba sebuah tepukan tangan
mengagetkanku. Aku terlonjak. Dan saat melihat siapa pelakunya, aku segera
mencibir. Ah, orang ini, Irus, sahabatku. Aku pun berpura-pura marah padanya
dan melangkah jauh di depannya.
“Lyla... Hey...
Kamu marah?”tanya Irus dari kejauhan.
Aku
mengacuhkannya dan terus berjalan. Dalam hati, aku tersenyum geli. “Menurutmu?”
“Lylaaa... Aku
cuma bercanda... Maafkan aku, yaa...”ujarnya saat sudah ada di sebelahku. Ya ampun, aku lupa, cowok ini kan pelari
handal, tak sulit untuknya menyusul langkahku.
“Kamu sering
kayak gini, tahu! Gimana kalo nanti aku kena serangan jantung, terus meninggal?
Kamu pasti kesepian karena gak ada sahabat kayak aku yang imut dan manis
ini...”jawabku dengan nada yang aku buat marah.
Irus menoyor kepalaku.
“Ish! Kamu ini!” Irus diam sejenak. “Eh, udah makan? Mau makan bareng di
kantin?”tanyanya.
“Eum...”Saat aku
ingin menajwab tawaran Irus, ponsel Irus berbunyi nyaring. Sepertinya ada
panggilan masuk.
Irus memintaku
menunggu sejenak, dan aku mengangguk. Irus pun mengangkat telpon itu. “Yah,
hallo, Bik?” Sepertinya Bik Inah yang menelpon.
“Mas Irus, Bapak mabuk parah, Mas... Mas bisa cepat
pulang? Ibu ada di kamar dengan Bapak, dan sekarang... –AAAAAA!!!-“samar-samar aku
mendengar suara Bik Inah.
“Saya pulang
sekarang. Bibik coba minta bantuan Pak Aryo dulu, minta Pak Aryo jaga-jaga di
kamar Mama sama Papa...”Irus berkata cepat, lalu memutuskan saluran telepon.
Aku menunggunya
bicara padaku, tapi nyatanya Irus langsung berjalan cepat menuju parkiran
mobil. Aku pun mengikutinya. Irus masuk ke mobilnya dan segera melesat kencang.
Aku pun mengikuti mobil Irus dari belakang dengan Jazz biru-ku.
Mobil Irus
benar-benar kencang, aku cukup sulit mengikutinya. Sampai akhirnya, Audi 7
putih milik Irus berhenti di depan pintu utama rumahnya. Aku juga menghentikan
mobilku lalu menyusul Irus yang sudah berlari di depanku. Irus terus berjalan
sampai akhirnya ia bertemu Bik Inah di depan kamar Om Rusdi dan Tante Rose.
“Mama mana,
Bik?”tanya Irus.
“Di...” “KAMU
HARUS MATI! KAMU YANG BUAT AKU KAYAK GINI! DUITKU HABIS GARA-GARA KAMU! KAMU
HARUS MATIIIII!!!” Kata-kata Bik Inah terpotong saat sebuah suara, seperti
suara orang yang mabuk, terdengar dari dalam kamar.
Dengan segera,
Irus mendekati pintu kamar itu dan berusaha membukanya. Sayangnya, pintu itu
terkunci dari dalam. Irus tak menyerah, ia mendobrak pintu itu beberapa kali.
Dan, akhirnya, pintu itu terbuka dan memperlihatkan Tante Rose yang tergeletak
di lantai dengan banyak darah di wajahnya dan juga Om Rusdi dengan sebuah
belati tajam di tangannya.
Apa yang sedang
terjadi? Pertanyaan itu terus berkecamuk di dalam otakku sampai akhirnya Irus
berteriak keras. Ia menyuruh papanya menurunkan pisau yang dipegangnya.
Sayangnya, Om Rusdi tidak bergeming, beliau masih mengangkat tinggi-tinggi
pisau itu. Om Rusdi di bawah pengaruh alkohol.
“IRUS BILANG,
TURUNIN PISONYA, PA! ITU BISA NYAKITIN MAMA!”bentak Irus.
“KAMU HARUS
MATI!!! KAMU HARUS MATIIIII!!!”Om Rusdi bersuara, namun bukan tertuju pada
Irus, pada Tante Rose, Om Rusdi berjalan mendekat ke arah Tante Rose.
“PAPA BERENTI,
PA!”teriak Irus.
“KAMU HARUS
MATI, SINTIA!!! HARUS MATIII!!! HAHAHAHA...”Om Rusdi mendekatkan pisau yang ia
pegang.
Dan...
“MAMAAAAAA!!!!”teriakan Irus menggema saat piasu yang dipegang Om Rusdi tertancap
sempurna di perut Tante Rose yang langsung jatuh terkulai.
Irus berlari
menuju tubuh mamanya yang sudah tidak bernyawa. Ia menaruh kepala Tante Rose di
pangkuannya. Om Rusdi sendiri, ia terdiam, pisau di tangannya terjatuh. Di
susul dengan tubuhnya yang terjerembab di lantai. Sepertinya, Om Rusdi pingsan.
Irus memeluk jenazah mamanya dengan tangisan.
“Mama, bangun,
Ma... Mama banguuuuun!!! Jangan tinggalin Irus, Ma... Mamaaaa...”Irus terisak
keras.
Aku berjalan
menghampiri Irus. Aku mengusap bahu pemuda itu perlahan. Sedetik kemudian, aku
juga terduduk, dan memeluk pemuda itu. Pemuda itu terus menangis, sampai polisi
datang. Polisi membawa Om Rusdi keluar, sepertinya Om Rusdi akan di bawa ke
penjara. Aku mencoba membujuk Irus keluar, tapi ia tetap menangis tanpa berkata
apa-apa.
“Mama...
Mama....” Dan itulah yang Irus ucapkan terus hingga ia terjatuh lunglai di atas
jenazah mamanya, pingsan.
Setelah Irus
terbangun dari pingsannya, ia bersikap biasa. Ia mengurusi pemakaman Tante
Rose. Aku menuntunnya mendekati makam Tante Rose yang memerah karena taburan
bunga mawar. Tubuh Irus sungguh lemas, tapi ia memaksa untuk tetap tinggal
sebentar di sini. Aku hanya mengiyakan permintaannya itu.
“Mama sama Papa,
dulunya baik-baik aja. Mama sama Papa gak pernah bertengkar. Mereka selalu
bermesraan sampae-sampe buat aku cemburu. Tapi, tiba-tiba, semua berubah. Suatu
hari, aku menemukan mereka sedang bertengkar. Entah, apa yang membuat mereka
bertengkar. Setelah hari itu, Papa jadi sering pulang malem, mabuk-mabukkan.
Sedangkan, Mama, Mama jadi lebih sibuk sama butiknya. Mama cuma pulang ke rumah
selama dua jam sehari, setelah itu Mama balik lagi ke butik. Aku sempet marah
akan kejadian itu, tapi akhirnya aku ngerti...”Irus terhenti sejenak sambil
menyeka air matanya yang menetes.
“Aku tau, apa
sebab Mama dan Papa jadi berubah. Karena Tante Sintia. Tante Sintia, sekretaris
Papa, selingkuhan Papa. Dan, Mama tau itu, aku yakin, Mama menyibukkan diri di
butik, itu karena Mama mau melampiaskan kesakitan hatinya. Aku coba ngomong
sama Tante Sintia buat meninggalkan Papa, karena Papa udah punya Mama dan aku,
tapi Tante Sintia, kayaknya gak dengerin aku. Sampai akhirnya, Tante Sintia
ketahuan memanfaatkan Papa. Perusahaan Papa bangkrut. Papa jadi makin sering
mabuk-mabukkan...juga nyiksa Mama... Gak jarang juga, Papa nyiksa aku...”ujar
Irus, ia kembali menyeka air matanya.
“Aku gak
menyangka, keluargaku akan berakhir kayak gini. Mama meninggal sia-sia karena
Papa ngira Mama itu Tante Sintia, dan Papa yang harus mendekam di penjara untuk
waktu yang lama. Aku...Aku gak punya siapa-siapa lagi, La... Aku
sendirian...”lanjut Irus.
Aku memeluk
pemuda itu erat. Pemuda itu kembali menangis, kali ini tidak meraung seperti
semalam. Aku hanya terdiam sambil mengelusi pundaknya. Dalam hati, aku
menyesal, karena tidak mengetahui permasalahan keluarga Irus, padahal aku
sahabatnya. Tiba-tiba, Irus terjatuh. Ia kembali pingsan. Aku berusaha
membopongnya ke mobil dan mengantarnya pulang.
Keesokan
paginya, aku mendapat kabar dari Bik Inah kalau Irus sudah bangun. Tapi, ia
sama sekali tidak mau bicara. Ia hanya duduk diam di jendela kamarnya sambil
mendekap foto Tante Rose. Aku segera datang ke rumahnya dan berusaha
membangunkan Irus. Tapi, usahaku gagal. Saat aku menyuruh Kak Aldo, kakak sepupuku
yang bekerja sebagai dokter, memeriksanya, Kak Aldo bilang, Irus mengalami guncangan
jiwa yang luar biasa, yang tidak diketahui kapan ini akan sembuh.
-----
“Mbak... Mbak
Lyla...”tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku.
Aku menoleh dan
tersenyum saat tahu kalau yang memanggilku adalah Bik Inah. “Eh iya, Bik...”
“Mbak kenapa?
Handphone-nya bunyi daritadi tapi kok gak diangkat-angkat?”tanya Bik Inah, yang
membuatku tersadar bahwa handphone-ku berbunyi.
“Oh iya... Saya
kebawa suasana...”jawabku sambil melihat arlojiku.
“Iya, Mbak, gak
papa...”balas Bik Inah.
“Saya mesti
pergi dulu, Bik. Ada yang harus saya kerjakan. Titip Irus ya, Bik... Nanti
kalau saya ada waktu saya pasti ke sini lagi...”ucapku sambil berjalan keluar
dari kamar Irus.
Aku tidak
mendengar jawaban Bik Inah dan terus melangkah keluar. Sampai akhirnya, aku
sudah berada di jok supir mobilku. Handphone-ku masih berbunyi. Aku pun
mengangkatnya. Ternyata dari Papa yang menyuruhku segera datang ke kantor. Yah,
aku memang bekerja sambilan di kantor Papa untuk mengisi jam kosongku.
Aku pun segera
menyalakan mobilku dan menjalankannya keluar dari halaman rumah Irus. Sambil
menyetir, dalam hati aku berharap dan juga berdoa kepada Tuhan untuk Irus.
Cepat sembuh, Irus. Aku merindukanmu, sungguh.
END