©©©
Gisel
baru pulang dari sekolah karena ada tugas tambahan dari gurunya. Perlahan
gerimis mulai turun. Gisel tidak memedulikannya karena emang dasarnya Gisel
suka sama gerimis. Tapi lama kelamaan gerimis berubah menjadi hujan yang cukup
deras. Dengan sedikit terpaksa, Gisel berlari mencari tempat berteduh.
Gisel
sampai di sebuah gubuk kecil yang tak asing baginya. Di gubuk ini, Gisel
bertemu dan mengenal seseorang yang kini sudah tiada. Rintik hujan yang makin
deras membawanya kembali mengingat kejadian pada masa silam.
Kejadian
setahun lalu sama persis dengan kejadian saat ini. Gisel menatap pasrah rintik
hujan yang makin deras di hadapannya. Kalo udah gini, mau gimana?tanya Gisel
pada dirinya sendiri. Pada saat yang bersamaan, seorang cowok dengan seragam
SMP, sama sepertinya, berlari kecil menuju gubuk itu.
“Duh,
gimana nih… Pake acara ujan segala…”gerutu cowok itu.
“Yah,
udah waktunya ujan, mas…”jawab Gisel.
“Eh,
ada lo… Gue pikir lo kunti gubuk ini…”balas cowok itu sambil setengah mencibir.
Gisel
tak menjawab, walau di hatinya dia ngedumel sebel. Diam Gisel membuat cowok itu
sadar akan apa yang diucapkannya barusan.
“Eh,
sorry… Aku emang gini orangnya… Sorry ya… Jangan marah dong…”kata cowok itu.
“Iya,
nggak papa kok, mas…”jawab Gisel.
“Jangan
panggil ‘mas’ dong… Kesannya aku ‘tua’ banget gitu… panggil aja, Stevan…
Kamu?”Tanya cowok yang ternyata bernama Stevan.
“Gisel…
Ya udah, aku pulang dulu… Ujannya juga udah reda kok… Bye…”pamit Gisel.
“Gisel…”
“Iya?”
“Aku
anter ya?”tawar Stevan.
Tanpa
menunggu jawaban Gisel, Stevan menarik tangan Gisel menuju komplek perumahan.
Dengan heran, Gisel mengikuti langkah Stevan. Gimana nggak heran, Gisel nggak
ngomong apa-apa, Stevan tau komplek rumahnya, bahkan letak rumahnya.
©©©
Setelah
hari itu, Stevan jadi sering ke rumah Gisel. Anehmya, Gisel nggak pernah boleh
ke rumah Stevan. Banyak sekali alas an yang di pakai Stevan untuk mencegah
gisel ke rumahnya.
Awalnya,
Gisel hanya mengira Stevan belum siap dirinya ke rumah Stevan. Tapi lama kelamaan,
Gisel jadi penasaran banget. Namun, serapi mungkin, Gisel nggak memperlihatkan
keingintahuannya.
Dua
bulan kemudian, kali ini Gisel lagi pusing nyariin Stevan. Udah seminggu lebih,
Stevan nggak ada kabarnya. Dia nggak sms, nggak nelpon, ataupun ke rumah Gisel.
Dengan membesarkan nyalinya, Gisel melangkah ke rumah Stevan.
Ada
perasaan takut di hatinya. Takut Stevan akan memusuhinya karena dirinya tak
menaati larangan Stevan. Tapi hatinya lebih takut lagi Stevan kenapa-napa.
“Tok…Tok…Tok…”Gisel
mengetuk pintu rumah Stevan yang luar biasa besar.
“Cari
siapa?”tanya seorang wanita muda dengan pakaian putih seperti suster.
“Ini
rumah Stevan?”
“Apa
maksud anda, Vanus? Ya, ini rumahnya… Anda mencarinya?”balas wanita itu.
“Ya…”jawab
Gisel sambil tersenyum.
“Kalau
begitu… Mari saya antar…”kata suster itu.
Gisel
mengikuti suster itu menelusuri rumah besar itu. Dan akhirmya , mereka sampai
di sebuah kamar berpintu biru dan bertuliskan ‘ STEVANUS NUGRAHA ROOM’S ’.
Tulisan itu, membuat Gisel tau, kamar itu, kamar Stevan.
Perlahan
Gisel membuka pintu biru kamar Stevan, suster tadi meninggalkan Gisel untuk
membuat minum. Gisel melongok ke dalam kamar. Dan betapa terkejutnya dia saat
melihat seorang cowok yang ia kenal sedang terbaring di ranjang dengan berbagai
alat medis.
Gisel
berjalan perlahan menuju ranjang dan ia terduduk di kursi sebelahnya. Seperti
merasa tak sendiri, Stevan yang sedang tertidur menjadi bangun. Dan kini
giliran Stevan yang terkejut melihat Gisel ada di hadapannya, sambil menangis.
“Gisel…”panggil
Stevan lemah.
“Kamu
kenapa, Van? Kenapa kamu nggak bilang aku kalo kamu sakit?”tanya Gisel.
“Maaf…”
“Kamu
bilang ke aku sekarang… Kamu ceritain semua keadaan kamu sekarang…”pinta Gisel.
“Gisel…
Aku… Punya kelainan pada jantungku sejak lahir… Maaf aku nggak pernah bilang ke
kamu, aku cuma…”Stevan menghentikan ucapannya.
“Kenapa
kamu nggak pernah bilang, Van? Kamu anggep aku apa selama ini? Aku sahabat kamu
kan?”Tanya Gisel bertubi-tubi dengan derai air mata.
“Maaf
Sel… Aku cuma nggak mau dianggap lemah…”kata Stevan.
Gisel
terdiam. Ternyata Stevan memiliki kelainan pada jantungnya yang suatu saat bisa
mengancam nyawanya. Lalu, Gisel tersenyum simpul. Tanda ia mengerti ucapan
Stevan.
Setelah
itu, keheningan terjadi di kamar Stevan. Gisel terus menatap mata Stevan.
Sedang Stevan hanya terdiam. Dia terlihat menikmati tatapan Gisel yang tertuju
pada dirinya.
“Gisel…”
“Ya?”
“Dua
minggu lagi… Aku akan dioperasi…”jab Stevan.
“APA??
Tapi kenapa?”tanya Gisel balik.
“Tadi
pagi, dokter bilang, kondisi jantungku makin buruk, jadi aku perlu
dioperasi…”kata Stevan.
“Tapi…”
“Apabila
operasi berhasil, aku bisa jadi orang normal setelah itu…”
“Dan
apabila gagal…” “Aku meninggal…”lanjut Stevan.
“Kalo
gitu jangan operasi”jawab Gisel.
“Tapi aku
sudah menyetujuinya… Aku sangat berharap bisa jadi orang normal selamanya dan
nemenin kamu…”
Gisel
kembali terdiam. Tapi tak lama ia berkata, “Kalo itu keinginan kamu…Aku akan
temenin kamu saat opersai…”jawab Gisel, Stevan tersenyum.
Tapi
tiba-tiba Gisel tertawa. “Kenapa tertawa?”
“Kamu
tau nggak, minggu depan aku libur semester, dan untuk pertama kalinya, aku
liburan di rumah sakit…”jawab Gisel.
Stevan
tertawa juga.”Kamu nggak tau aja, aku selalu liburan di rumah sakit dan di
rumah sakit juga tak terlalu mengerikan kok… Kamu bisa menggodai suster-suster
di sana”balas Stevan.
“Dan
kamu nggak akan dimarahi karena kamu lagi sakit… Kamu nakal juga ya?”cibir
Gisel.
“Tapi
ada satu hal yang nggak bisa aku lakuin di rumah sakit…”
“Apa
itu?”
“Jadi
orang normal…”
©©©
Dua
minggu kemudian, Gisel berdiri di depan rumah Stevan. Dia sedang meminta ijin
ke orang tua Stevan untuk mengantar Stevan ke rumah sakit. Dan sebelum ke rumah
sakit, Gisel ingin mengajak Stevan ke suatu tempat. Orang tua Stevan menyetujuinya.
Gisel
menaiki tangga rumah Stevan dengan lincah. Dan ia langsung menarik tangan
Stevan menuju bawah, menuju mobil keluarga Stevan. Stevan hanya mengikuti
Gisel.
Lima
belas menit kemudian, Stevan menatap satu persatu permainan di arena bermain
tempatnya berpijak saat ini. Lalu ia menoleh ke Gisel dengan tatapan bertanya.
“Aku
hanya ingin kamu ngrasa seneng sebelum operasi itu.”jawab Gisel.
“Tapi…”
“Udah,
kamu percaya sama aku ya…”potong Gisel sambil mengulurkan tangannya.
Stevan
menatap mata Gisel, terpancar kesenangan di mata bening itu. Stevanpun
mengangguk dan meraih tangan Gisel. Mereka langsung menuju sebuah loket
pembayaran permainan.
Stevan
memandang permainan di depannya. Komedi putar. Yah, dia bisa menaikinya, tapi
yang naik hanya anak kecil. Gisel tersenyum melihat Stevan yang menatap komedi
putar itu.
Tanpa
menunggu apapun, Gisel menarik Stevan ke komedi putar itu. Mereka tak peduli
orang-orang memandangi mereka dengan aneh. Yang penting ‘happy’, pikir Gisel.
Selesai
menaiki komedi putar, Stevan dan Gisel berfoto di depan komedi putar itu.
Dengan gaya yang paling menggemaskan, Gisel menekan tombol ‘capture’ di kamera
digitalnya. Stevan melihat itu dengan senyuman.
“Kamu
usil banget…”kata Stevan tersenyum.
Gisel
hanya tertawa renyah mendengarnya. Lalu Stevan melihat sebuah stand yang ramai
di depannya. Dia menatap heran, lalu tatapannya berpindah pada Gisel.
“Apa
itu?”tanya Stevan.
“Itu
namanya kembang gula… Kamu belum pernah makan?”tanya Gisel balik, Stevan
menggeleng.
“Enak
ya?”
“Ya,
rasanya manis… Kamu mau?”balas Gisel.
“Mmm…”Stevan
mengangguk.
“Kamu
tunggu di sini ya…”
Gisel
berjalan cepat ke stand itu. Stevan memandang punggung Gisel yang makin
menjauh. Lalu ia mengambil sebuah kertas yang tak lain adalah kartu pos yang
diberi gurunya kemarin.
“Gisel
sahabat baruku…”
Tak
lama, Gisel kembali. Dia membawa satu buah kembang gula besar. Mereka pun
memakannya dengan diselingi gurauan. Karena sudah satu jam, dan sebentar lagi
Stevan akan di operasi, Gisel mengajak Stevan ke rumah sakit.
Di
perjalanan menuju rumah sakit, Gisel selalu melontarkan berbagai lelucon yang
mampu mengocok perut Stevan. Tapi tiba-tiba, nafas Stevan terengah-engah, ia
merasa sakit luar biasa di dadanya.
“Stevan…Kau
kenapa?”tanya Gisel.
“Gisel…mungkin
ini sudah waktunya aku pergi…”
“Kamu
jangan banyak bicara… Kau istirahat saja… Pak, cepat ke rumah sakit…”jawab
Gisel.
“Gisel…aku…sayang…padamu…”kata
Stevan lalu ia pingsan.
“Stevan…Stevan
bangun…STEVAN!!!!! Pak, cepat ke rumah sakit…”
Supir
Stevan memacu mobil dengan sangat cepat. Dengan lincah, beliau menyalip
berbagai kendaraan di depannya agar cepat mengantar majikan mudanya ke rumah
sakit.
©©©
Di
rumah sakit sudah ada orang tua Stevan. Saat ini, Gisel terduduk tak bergerak
menunggu operasi Stevan selesai. Tak lama, dokter keluar, orang tua Stevan
langsung menghampiri dokter itu. Dari raut muka sang dokter dan ekspresi orang
tua Stevan, Gisel tau, Stevan sudah pergi.
Saat
suster membawa tubuh Stevan, dengan secepat kilat, Gisel menghampirinya dan
menggenggam tangan Stevan sambil menangis keras. Sungguh sakit kehilangan orang
yang disayangi.
Tiga
hari kemudian, Gisel terduduk lemas di sebelah gundukan tanah merah. Di sinilah
Stevan beristirahat untuk selamanya. Saat ia kembali menangis, sebuah tangan
kokoh menyentuh pundaknya. Gisel menolah.
“Ada
sesuatu untukmu…”kata papa Stevan sambil menyodorkan sebuah kartu pos berwarna
biru.
“Gisel sahabat baruku…
Aku
senang bisa mengenalmu disisa hidupku, jujur, sebelum pertemuan kita di hari ‘hujan’
itu, aku sudah lama memperhatikanmu…
Aku
melihat kau sedang duduk santai di teras rumahmu, itulah saat pertama aku
melihat kamu… Maaf, selama ini aku tak pernah mengatakan hal ini maupun
penyakitku, aku hanya ingin menjadi orang normal di hadapan orang lain. Tapi
ternyata aku salah, aku sudah menjadi orang normal sejak mengenalmu.
Terima
kasih Gisel, kau sudah mau menjadi sahabat baruku…
Jangan
sedih bila suatu saat aku pergi meninggalkanmu, tetap jadilah Gisel yang ceria,
yang seperti aku kenal…
Aku
mencintaimu Gisel…”
Gisel
sudah tak bisa menahan air matanya lagi. Ia menangis tanpa henti setelah
membaca surat itu. Papa Stevan yang melihat itu, berjalan mendekati Gisel.
Beliau menyentuh pundak Gisel, seakan ingin memberikan kekuatan ke Gisel.
“Kamu
jangan nangis, Gisel… Stevan nggak akan menyukai sahabatnya menangis karenanya…
kamu harus tetep kuat dan jadi Gisel yang ceria…”ucap Papa Stevan.
“Iya
Oom… Gisel akan coba…”
©©©
Gisel
masih di gubuk kecil yang ia tempati sebagai tempat berteduh tadi. Saat ini
hujan sudah reda, tapi Gisel masih belum ingin meninggalkan tempat pertemuan
pertamanya dengan Stevan.
Tiba-tiba
sebuah motor nexium biru berhenti di hadapannya. Dia Pharel, orang yang kini
menjadi kekasihnya. Sepertinya, mama Gisel meminta Pharel untuk mencari Gisel
yang sampe sore belum ada di rumah.
“Gisel…kok
kamu di sini? Tau gak sih, aku sama mama kamu nyariin…”kata Pharel.
“Tadi
ujan, jadi aku berteduh di sini…”jawab Gisel sekenanya.
“Tapi
kan ujannya udah reda dari tadi, Sel…”bantah Pharel.
“Aku
cuma pengen mengenang sebuah kenangan di sini… Katamu, Mama nyariin, ya udah
yuk pulang…”ajak Gisel.
Pharel
memandang pacarnya dengan heran. Tapi pandangan itu dibalas dengan senyuman
manis oleh Gisel. Giselpun langsung naik di jok penumpang motor Pharel dan
mencubit pinggang Pharel untuk cepat pulang.
Perlahan,
motor itu meninggalkan gubuk kecil itu. Gisel memandangi gubuk yang makin
menjauh, sekilas Gisel melihat sesosok bayangan yang seperti Stevan sedang
tersenyum kepadanya. Gisel membalas dengan lambaian tangan singkat.
“Aku
tau, kamu selalu bersamaku, Stevan… Aku pun menyayangimu…”kata Gisel dalam
hati, lalu memeluk pinggang Pharel erat.
the end